Oleh : Bahrun Abidin
Pemerhati Pertanian Luwu Timur
Mantan Peneliti Agricultural Engeering Balitsereal Maros
Alhamdullilah Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Alla SWT atas selesainya penulisan naskah ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada redaksi media ini atas kesediaan menerbitkan naskah ini. Sebelum saya mengurai secara singkat isi dalam tulisan ini pertama-tama saya mengucapkan “SELAMAT ULANG TAHUN LUWU TIMUR” yang ke 16, kepada seluruh warga yang berada di Luwu Timur. Semoga di usia belia ini dapat mewujudkan Kabupaten Terkemuka pada tahun 2021.
Sebagai ciri daerah Agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peterenakan. Sejak berdirinya menjadi daerah otonom pada tahun 2013 yang memiliki kebebasan luas sehingga mampu membawa masyarakatnya sejahtera sangat memungkinkan, mengelola sumber daya alam yang cukup melimpah melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Perlu dicatat bahwa tidak banyak daerah yang memiliki potensi keunggulan seperti yang tidak dimiliki oleh Kabupaten Luwu Timur. Namun banyak daerah yang menjadi sejahtera hanya dengan mengoptimalkan satu potensi keunggulan saja. Dalam naskah ini fokus membahas secara bertahap 1 (satu) jenis komoditas perkebunan yang menjadi tumpuan dan harapan besar masyarakat tani Luwu Timur ke depan membangun kemakmuran.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Luwu Timur berada di pedesaan, menunjukkan bahwa sektor pertanian secara luas sangat penting peranannya dalam kehidupan masyarakat di daerah perdesaan, sehingga wajar jika pembangunan ekonomi berorientasi pada pembangunan agroindustri perdesaan. Terbitnya Permendes No. 14 tahun 2015) tentang : Bumdes, menjadi penguatan suksesnya agroindusti di perdesaan. Mengingat kontribusi sektor pertanian selama ini terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberikan nilai tambah yang kecil, belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang memberikan nilai tambah yang lebih besar. Menyadari nilai tambah pengembangan produk olahan (hilirisasi) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka orientasi pembangunan ke depan adalah pengembangan Agroindustri yang berdaya saing. Oleh karena itu jika sektor Pertanian menjadi program utama daerah ini membangun kekuatan ekonomi kerakyatan maka kerja besar terbentang didepan mata kita.
Perkebunan lada rakyat misalnya adalah salah satu komoditas perkebunan yang dilindungi kelestariannya berdasarkan PP.31 tahun 2009 tentang : Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Perkebunan Spesifik Lokasi psl 3 (1), kini menjadi komoditi unggulan masyarakat tani. Karena posisinya sebagai komoditas eksport menjadi issu heboh diperbincangkan tanpa mengenal waktu dan tempat karena harga jual yang cukup tinggi antara Rp.145.000 – Rp. 150,000 (tahun 2014-2015) dibanding harga komoditas perkebunan lainnya (kakao dan kelapa sawit) yang tidak pernah terjadi selama ini. Memicu sektor perkebunan menjadi perburuan masyarakat dan menjadi daya tarik tersendiri yang selama ini tertutupi oleh daya tarik sektor pertambangan. Mampu merubah pola pikir sebagian besar masyarakat tani yang berada pada 4 (empat) kawasan kecamatan mulai dari Kecamatan Malili, Wasuponda, Nuha dan Towuti (MAWASHATI). Membuka kebun-kebun lada tanpa batas, sehingga muncul petani-petani baru yang selama ini kurang meminati sektor perkebunan dengan anggapan bahwa bertani adalah pekerjaan berstatus sosial rendah, kotor dan bergumul dengan lumpur. Menurut beberapa ahli yang pernah berkunjung ke kebun lada petani Luwu Timur memprediksi bahwa daerah ini akan menjadi kompetitor utama bagi daerah penghasil lada di Indonesia jika dikelola dengan baik. Merubah pola pengelolaan perkebunan dari petani invidual menjadi petani berkelompok serta mengembangkan inovasi dari pertanaman monokultur menjadi kebun campuran tanaman sejenis yang tergolong komoditas rempah.
Akhir-akhir ini issu heboh kembali muncul yaitu perbincangan hangat dikalangan masyarakat tanpa mengenal tempat dan waktu. Harga jual lada yang jauh dari harapan petani berdasarkan analisis BEP (break event point) melemahkan semangat sebagian besar petani untuk mengelola kebunnya, menyebabkan banyak areal kebun lada yang sudah tidak terpelihara lagi.
Belum adanya penyusunan bisnis plan komoditas ini menyebabkan petani bekerja sesuai kemampuan analisis dan cara pandang masing-masing tentang kepastian pasar dan pedoman penerapan teknologi budidaya yang menghasilkan standar mutu sesuai keinginan bayer. Disisi lain keinginan Pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah akan sulit tercapai, jika permasalahan harga tidak menjadi perhatian. Oleh karena itu sudah saatnya mempersiapkan produk yang berkualitas sesuai persyaratan permintaan bayer, volume atau jumlah produk sesuai kontrak dan kontinuitas produk yang terjamin. Ketiganya dapat terpenuhi jika petani membangun kelembagaan yang dapat bekerjasama mengelola kebunnya dalam suatu bentuk kebersamaan agar memahami budidaya yang dilakasankan secara bersamaan menghasilkan produk yang seragam sesuai permintaan buyer.
Sebagai komoditas ekspor yang sangat perlu dipahami adalah posisi Indonesia yang belum mampu mempengaruhi harga pasar dunia atau bertindak sebagai price leader, belum memiliki posisi tawar yang baik dalam perdagangan internasional, masih merupakan price taker, sehingga harga jual mendekati harga pasar Internasional akan sulit dicapai ( Malinda, 2008). Pada Tahun 2018, total produksi lada di Luwu Timur mencapai 4,311 ton atau 65,032 persen dari total produksi lada di Sulawesi Selatan yaitu. 6,629 ton, dihasilkan dari luas perkebunan lada rakyat seluas 6,023 hektar atau 33,30 persen dari total luas perkebunan lada rakyat di Sulawesi Selatan sebesar 18,084 hektar melibatkan petani Luwu Timur sebanyak 6,821 kk (angka sementara Disbun Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2019). Dari data tersebut mencerminkan posisi Luwu Timur untuk memimpin dunia perladaan di Sulawesi Selatan cukup berpeluang, dengan terus berupaya menggali potensi untuk menghasilkan lada lestari sebagai salah satu ICON pilar utama peningkatan ekonomi.
Dukungan kuat menjadi daerah penghasil utama lada secara nasional sejak masuknya Kabupaten Luwu Timur dalam Kawasan Nasional berdasarkan Kepmentan no.830/Kpts/RC.040/12/2016.
Berlakunya pasar bebas ASEAN (MEA), dan menghadapi era perdagangan bebas dunia (WTO) pada tahun 2020 yang akan datang tantangan yang harus dipersiapkan. Persaingan pasar komoditas yang sangat ketat perlu dipersiapkan mulai sekarang, melalui tatakelola komoditas lada yang mengikuti standar mutu yang dinginkan oleh bayer, jika diinginkan menjadi daerah eksportir lada di Sulawesi Selatan. Sebab tidak menutup kemungkinan akan terjadi deskriminasi pasar tentang isu pencemaran bahan kimia dan mikroorganisme yang berdampak negatip terhadap kesehatan manusia, sehingga standarisasi semakin berperan memfasilitasi pertukaran produk. Jika semua persyaratan tersebut dapat terpenuhi tidak menutup kemungkinan akan menjadi peluang baru bagi para trader lokal yang mampu bersaing dalam situasi persaingan pasar yang semakin tajam, karena tuntutan konsumen terhadap kualitas semakin tinggi terutama pada aspek kesehatan dan lingkungan. Mengingat kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi produk tanpa bahan kimia semakin meningkat. Oleh karena itu dukungan perencanaan bisnis inclusive membangun conectivity yang equitable menghasilkan lada berdaya saing kuat di pasar Internasional. Untuk itu diperlukan kebersamaan dalam penguatan kelembagaan, melalui suatu proses yang difasilitasi dalam suatu sistem, strategi dan metode yang dilaksanakan secara sistematis terprogram dan berkelanjutan. Cara-cara semacam ini telah banyak diterapkan oleh para ahli yang tergabung dalam organisasi Dewan Rempah Indonesia (DRI) menerapkan Sistem Kebersamaan Ekonomi berdasarkan Manajemen Kemitraan atau SKE-MK, menghasilkan lada bermutu, jumlah produk yang terjamin sesuai keinginan bayer. Jika semua ini dapat terlaksana dengan baik maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi suatu konsep pengembangan perkebunan lada rakyat yang berorientasi pasar ekspor bagi daerah penghasil rempah lainnya di Indonesia, yang lahir dari Kabupaten Luwu Timur. Sekaligus menjadi bukti kuat terhadap dukungan program pemerintah untuk mengembalikan Kejayaan Rempah di Indonesia. Tentunya pelibatan dan peran Dewan Rempah Indonesia sangat diperlukan untuk ikut berpartisifasi secara aktif dalam kegiatan operasionalnya.
Disisi lain dukungan Pemerintah Daerah agar mengusulkan komoditi ini menjadi salah satu produk unggulan daerah sesuai Permendagri no.9 tahun 2014, tentang Produk Unggulan Daerah menjadi bahan pemikiran yang mendesak.