LADA (Piper Ningrum Linn) KOMODITAS EKONOMI MASA DEPAN MASYARAKAT LUWU TIMUR

oleh -1.756 views

Oleh : Bahrun Abidin

Pemerhati Pertanian Luwu Timur

Mantan Peneliti Agricultural Engeering Balitsereal Maros

Alhamdullilah Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Alla SWT atas selesainya penulisan naskah ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan  kepada redaksi media ini atas kesediaan menerbitkan naskah ini. Sebelum saya mengurai secara singkat isi dalam tulisan ini pertama-tama saya mengucapkan “SELAMAT ULANG TAHUN LUWU TIMUR” yang ke 16, kepada seluruh warga yang berada di Luwu Timur. Semoga di usia belia ini dapat mewujudkan  Kabupaten Terkemuka pada tahun 2021.

Sebagai ciri  daerah  Agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan  peterenakan.  Sejak berdirinya menjadi  daerah otonom pada tahun 2013 yang   memiliki kebebasan  luas sehingga mampu  membawa masyarakatnya sejahtera  sangat  memungkinkan, mengelola  sumber daya alam yang cukup melimpah  melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.  Perlu dicatat bahwa tidak  banyak daerah  yang memiliki potensi keunggulan seperti yang tidak dimiliki oleh Kabupaten Luwu Timur. Namun banyak  daerah yang  menjadi sejahtera hanya dengan mengoptimalkan satu potensi keunggulan saja. Dalam naskah ini fokus membahas secara bertahap 1 (satu) jenis komoditas perkebunan yang menjadi  tumpuan dan harapan besar masyarakat tani Luwu Timur ke depan  membangun kemakmuran.  

Sebagian besar wilayah Kabupaten Luwu Timur berada di pedesaan,  menunjukkan bahwa sektor pertanian secara luas sangat penting peranannya dalam kehidupan masyarakat di daerah perdesaan, sehingga wajar jika  pembangunan  ekonomi   berorientasi pada pembangunan agroindustri perdesaan.  Terbitnya    Permendes No. 14 tahun 2015)  tentang : Bumdes, menjadi penguatan suksesnya agroindusti di perdesaan.  Mengingat kontribusi sektor pertanian selama ini terhadap penerimaan devisa lebih banyak diperoleh dari produk segar  (primer) yang relatif memberikan nilai tambah yang kecil,  belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang  memberikan nilai tambah yang lebih besar. Menyadari nilai tambah  pengembangan produk olahan (hilirisasi) jauh lebih tinggi dari produk primer,  maka  orientasi  pembangunan ke depan  adalah  pengembangan Agroindustri yang berdaya saing.  Oleh karena itu jika sektor Pertanian menjadi  program utama daerah ini     membangun kekuatan ekonomi  kerakyatan   maka  kerja besar terbentang didepan mata kita.

Perkebunan lada rakyat misalnya adalah  salah satu komoditas perkebunan yang dilindungi  kelestariannya berdasarkan PP.31 tahun 2009 tentang : Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Perkebunan Spesifik Lokasi psl 3 (1), kini menjadi komoditi unggulan  masyarakat tani. Karena posisinya sebagai komoditas eksport  menjadi issu   heboh diperbincangkan tanpa mengenal waktu dan tempat karena harga jual  yang cukup tinggi antara Rp.145.000 – Rp. 150,000 (tahun 2014-2015)  dibanding harga komoditas perkebunan lainnya (kakao dan  kelapa sawit) yang   tidak pernah terjadi selama ini. Memicu  sektor perkebunan menjadi perburuan masyarakat dan menjadi  daya tarik tersendiri  yang  selama ini   tertutupi oleh daya tarik sektor pertambangan. Mampu merubah pola pikir sebagian besar masyarakat tani yang berada pada 4 (empat) kawasan kecamatan mulai dari Kecamatan Malili, Wasuponda, Nuha dan Towuti (MAWASHATI). Membuka kebun-kebun lada tanpa batas,  sehingga  muncul petani-petani baru yang selama ini kurang  meminati sektor perkebunan dengan anggapan  bahwa bertani adalah pekerjaan berstatus sosial rendah, kotor dan bergumul dengan lumpur.  Menurut beberapa  ahli yang pernah berkunjung ke kebun lada petani Luwu Timur memprediksi bahwa daerah ini akan menjadi kompetitor utama bagi daerah penghasil lada di Indonesia jika dikelola dengan baik. Merubah pola pengelolaan perkebunan dari   petani invidual menjadi petani berkelompok serta mengembangkan inovasi dari pertanaman monokultur menjadi kebun campuran tanaman sejenis yang tergolong komoditas rempah.

Akhir-akhir ini issu heboh  kembali muncul yaitu  perbincangan hangat dikalangan masyarakat tanpa mengenal tempat dan waktu.  Harga jual lada yang jauh dari harapan   petani berdasarkan  analisis  BEP (break event point)   melemahkan semangat sebagian besar  petani untuk mengelola  kebunnya, menyebabkan banyak areal kebun lada yang sudah tidak terpelihara lagi.

Belum adanya penyusunan  bisnis plan komoditas ini menyebabkan   petani bekerja  sesuai kemampuan  analisis dan  cara pandang masing-masing tentang  kepastian pasar   dan  pedoman penerapan teknologi budidaya yang menghasilkan  standar mutu sesuai keinginan bayer.  Disisi lain keinginan Pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah akan sulit tercapai, jika permasalahan harga tidak menjadi perhatian. Oleh karena itu   sudah saatnya mempersiapkan  produk yang berkualitas sesuai persyaratan permintaan bayer, volume atau jumlah produk sesuai kontrak dan  kontinuitas produk yang terjamin. Ketiganya dapat terpenuhi  jika petani membangun kelembagaan yang dapat bekerjasama mengelola kebunnya dalam suatu bentuk kebersamaan agar  memahami budidaya yang dilakasankan secara bersamaan  menghasilkan produk yang seragam sesuai permintaan buyer.

Sebagai komoditas ekspor yang sangat perlu dipahami adalah posisi Indonesia yang belum mampu mempengaruhi harga pasar dunia atau bertindak sebagai price leader, belum memiliki posisi tawar yang baik dalam perdagangan internasional,   masih merupakan price taker, sehingga harga jual mendekati harga pasar Internasional akan sulit dicapai ( Malinda, 2008).   Pada Tahun 2018, total produksi lada di Luwu Timur mencapai  4,311 ton atau 65,032 persen dari  total produksi  lada  di Sulawesi Selatan yaitu. 6,629 ton, dihasilkan dari luas perkebunan lada rakyat seluas 6,023 hektar atau 33,30 persen dari total luas perkebunan lada rakyat di Sulawesi Selatan sebesar 18,084 hektar  melibatkan petani Luwu Timur sebanyak  6,821  kk (angka sementara Disbun Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2019).  Dari data tersebut mencerminkan  posisi  Luwu Timur untuk memimpin dunia perladaan di Sulawesi Selatan cukup berpeluang,  dengan  terus berupaya menggali  potensi untuk menghasilkan lada lestari sebagai  salah satu ICON  pilar utama peningkatan ekonomi.

Dukungan kuat menjadi daerah penghasil utama lada secara nasional sejak  masuknya Kabupaten Luwu Timur dalam Kawasan Nasional berdasarkan Kepmentan no.830/Kpts/RC.040/12/2016.

Berlakunya  pasar bebas ASEAN (MEA), dan menghadapi era perdagangan bebas dunia (WTO) pada tahun 2020 yang akan datang tantangan yang harus dipersiapkan. Persaingan pasar komoditas yang sangat ketat perlu dipersiapkan mulai sekarang, melalui  tatakelola komoditas lada yang  mengikuti standar mutu yang dinginkan oleh  bayer, jika diinginkan menjadi daerah eksportir lada di Sulawesi Selatan.  Sebab tidak menutup kemungkinan akan terjadi  deskriminasi pasar tentang isu pencemaran  bahan kimia dan mikroorganisme yang berdampak negatip terhadap kesehatan manusia, sehingga  standarisasi semakin berperan memfasilitasi pertukaran produk. Jika semua persyaratan tersebut dapat terpenuhi  tidak menutup kemungkinan akan menjadi  peluang baru  bagi para trader  lokal yang   mampu bersaing  dalam situasi persaingan pasar yang semakin tajam, karena  tuntutan konsumen terhadap kualitas semakin tinggi terutama  pada aspek kesehatan dan lingkungan. Mengingat kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi produk tanpa bahan kimia semakin meningkat.  Oleh karena itu  dukungan   perencanaan bisnis  inclusive membangun conectivity yang  equitable  menghasilkan lada  berdaya saing kuat di pasar Internasional. Untuk itu diperlukan kebersamaan dalam  penguatan kelembagaan, melalui  suatu proses yang difasilitasi dalam suatu sistem, strategi dan metode yang dilaksanakan secara sistematis terprogram dan berkelanjutan.  Cara-cara  semacam ini telah banyak diterapkan oleh para ahli yang tergabung dalam organisasi Dewan Rempah Indonesia (DRI) menerapkan Sistem Kebersamaan Ekonomi berdasarkan Manajemen Kemitraan atau SKE-MK,  menghasilkan lada bermutu, jumlah produk yang terjamin sesuai keinginan bayer. Jika semua ini dapat terlaksana dengan baik maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi suatu konsep pengembangan perkebunan lada rakyat yang berorientasi pasar ekspor  bagi daerah penghasil  rempah lainnya di Indonesia, yang lahir dari Kabupaten Luwu Timur. Sekaligus menjadi  bukti kuat terhadap dukungan program pemerintah untuk mengembalikan Kejayaan Rempah di Indonesia.  Tentunya  pelibatan  dan peran Dewan Rempah Indonesia  sangat diperlukan untuk ikut berpartisifasi secara aktif  dalam kegiatan operasionalnya.

Disisi lain dukungan Pemerintah Daerah agar mengusulkan komoditi ini menjadi salah satu  produk unggulan daerah sesuai Permendagri no.9 tahun 2014, tentang Produk Unggulan Daerah  menjadi bahan pemikiran yang mendesak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *